Oleh: Saeed Kamyabi, Pemerhati Masalah Sosial, dari Bumi Merah Putih
Zonalabour.com, Jakarta – Belakangan ini, langit politik Indonesia kembali bergetar oleh kabar yang tidak biasa: sejumlah purnawirawan TNI menyuarakan keinginan untuk memakzulkan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden. Langkah ini—bila benar terjadi dan dikabulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)—akan menciptakan preseden politik yang besar, mengingat Gibran adalah anak kandung dari Presiden Joko Widodo. Isu ini pun segera mengundang reaksi luas dari berbagai kalangan, termasuk para netizen yang kini menjadi “majelis rakyat digital”.
Mengapa Gibran Dimakzulkan?
Alasan yang mencuat dari para purnawirawan adalah soal etika dan konstitusi. Mereka menilai pencalonan Gibran sebagai cawapres melibatkan rekayasa hukum yang mencederai prinsip keadilan. Mereka menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai “medan permainan keluarga”, mengingat putusan yang membuka jalan bagi Gibran berasal dari MK saat dipimpin oleh pamannya sendiri. Gerakan moral ini, meski belum masif, mencerminkan kegelisahan sebagian tokoh bangsa terhadap arah demokrasi yang dianggap mulai menyimpang.
Jika Gibran Dimakzulkan, Siapa Pengganti?
Secara hukum, pengganti Wakil Presiden ditentukan melalui mekanisme di DPR dan MPR. Nama Anies Baswedan langsung muncul sebagai sosok alternatif yang dipertimbangkan publik. Bukan hanya karena ia mendapat 40-an juta suara dalam Pilpres 2024, tapi juga karena karakternya yang kontras dengan duet Prabowo-Gibran.
Namun ada pula nama-nama lain yang disebut-sebut lebih layak, seperti Mahfud MD, tokoh hukum yang konsisten dengan nilai-nilai demokrasi, atau bahkan figur kejutan dari kalangan teknokrat atau tokoh agama. Pertanyaannya: apakah Prabowo—sebagai Presiden terpilih—bersedia berbagi panggung dengan sosok yang memiliki warna ideologis berbeda?
Prabowo vs Anies: Dua Kepribadian, Dua Arah Bangsa
Prabowo Subianto dikenal sebagai sosok patriot, keras, tegas, dan emosional. Ia memandang negara sebagai medan laga yang butuh kepemimpinan tangan besi. Ia jujur tentang ambisinya dan tidak bersembunyi di balik retorika. Pendukungnya menyukai keberaniannya, ketegasannya, dan sikap nasionalis yang tak ditawar-tawar.
Di sisi lain, Anies Baswedan adalah akademisi, orator, dan manajer persepsi publik yang cerdas. Ia lemah lembut dalam penyampaian, diplomatis dalam langkah, dan sering memakai narasi moral serta keadilan sosial dalam kampanyenya. Ia adalah cermin Indonesia yang santun, religius, dan progresif.
Perpaduan keduanya, jika bisa disatukan, akan menjadi wajah baru politik Indonesia: keras namun beradab, tegas namun bermoral. Tapi realitanya, perbedaan karakter ini justru membuat banyak elite berpikir dua kali untuk menyatukan keduanya dalam satu kapal.
Netizen Bicara: “Ini Tentang Arah Bangsa”
Di media sosial, reaksi rakyat beragam. Ada yang menertawakan ide makzulkan Gibran sebagai mimpi di siang bolong. Ada pula yang menyambutnya sebagai upaya koreksi sejarah. “Bukan soal suka atau tidak, ini soal rasa keadilan yang dikhianati,” tulis seorang netizen dari Makassar.
Kaum muda yang merasa demokrasi telah “dikerjai” tampak menggandeng tokoh-tokoh sipil untuk mendesak revisi sistem politik secara menyeluruh. Mereka tak ingin demokrasi hanya jadi panggung keluarga dan elite.
Kembali ke Akar Demokrasi
Apakah Anies akan menggantikan Gibran jika makzulkan? Mungkin tidak semudah itu. Tapi yang jelas, bola panas ini menandai gelombang baru kesadaran rakyat terhadap pentingnya etika dalam demokrasi. Jika MPR berani berpihak pada suara hati rakyat, maka Indonesia benar-benar akan memasuki babak baru.
Sebagai pemerhati sosial, saya hanya bisa mengingatkan: bangsa besar adalah bangsa yang mampu bercermin dan membenahi dirinya sebelum terlambat. Dan siapa pun yang memimpin, biarlah ia datang bukan hanya karena suara terbanyak, tetapi juga karena suara terdalam: suara hati rakyat Indonesia. Wallahu a’lam.
—Saeed Kamyabi___